Cabang Filsafat: Metafisika

Koestenbaum (1968) mendefinisikan metafisika sebagai studi mengenai karakteristik-karakteristik yang sangat umum dan paling dasar dari kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Metafisika menguji aspek-aspek kenyataan seperti ruang dan waktu, kesadaran, jiwa dan materi, ada (being), eksistensi, perubahan, substansi dan sifat, aktual dan potensial, dan lain sebagainya.

Metafisika pada asasnya meneliti perbedaan antara penampakan (appearance) dan kenyataan (reality). Ada sejumlah aliran yang mencoba mengungkap hakikat kenyataan di balik penampakan tersebut. Misalnya aliran naturalism dan materialism percaya bahwa kenyataan paling dasar pada prinsipnya sama dengan peristiwa material dan natural.

Sejak zaman Yunani kuno sebagian besar filsafat diwarnai oleh pemikiran-pemikiran metafisik, kendati cukup banyak juga filsuf yang meragukan dan menolak metafisika. Para filsuf yang menolak metafisika beralasan bahwa metafisika tidak mungkin karena melampui batas-batas kemampuan indera untuk membuktikan kebenaran-kebenarannya. Kebenaran-kebenara yang dikemukakan oleh metafisika terlalu luas dan spekulatif, sehingga tidak dapat dibuktikan dan diukur kebenarannya. Dalam perkembangannya, metafisika kemudian dibagi lagi menjadi tiga sub cabang, yaitu:

[1] Ontology

Menurut bahasa, ontology berasal dari bahasa Yunani yaitu: On/Ontos (ada), dan Logos (ilmu). Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. 

Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan mengalami dinamika dan perkembangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan ilmu-ilmu yang lain, yang biasanya mengalami percabangan. Filsafat sebagai suatu disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga cabang kajian itu ialah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan (epistemologi), dan teori nilai (aksiologi). 

Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On (being), dan Logos (logic). Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). 

Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Membahas tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan pemikiran semesta universal. Berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan yang ada dan yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.  Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai yang “ada”. 

Menurut Sidi Gazalba, ontologi membicarakan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan (realitas). Karena itu, disebut ilmu hakikat yang bergantung pada pengetahuan. Dalam agama, ontologi mempersoalkan tentang Tuhan.  Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan ontologi berasal dari kata yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud tentang hakikat yang ada. Ontologi tak banyak berdasar pada alam nyata tetapi berdasar pada logika semata-mata. 

Aliran-aliran Ontologi

Dalam mempelajari ontologi muncul bebrapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”

1. Aliran Monoisme

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monoisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran: a) Aliran Materialisme dan b) Aliran Idealisme

a. Aliran Materialisme

Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kanyataan dan satu-satunya fakta.  

Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokratis (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam

b. Aliran Idealisme

Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.  Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati. 

Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.  

2. Aliran Dualisme

Aliran ini berpendapat bahwa terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de Ia Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerapkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitlifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716M).

3. Aliran Pluralisme

Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion di katakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua identitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa sustansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.

4. Aliran Nihilisme

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.

Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang relitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.

5. Aliran Agnotisisme

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.

Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda baik materi maupun rohani.

[2] Kosmologi

Filsafat ini mengkaji persoalan-persoalan tentang alam semesta, asal-usul, dan unsur-unsur yang membentuk alam semesta.

[3] Humanologi

Filsafat ini membahas dan mengkaji persoalan-persoalan tentang hakikat manusia, hubungan antara jiwa dan tubuh, kebebasan dan keterbatasan manusia.

[4] Theologi

Filsafat ini banyak membahas dan mengkaji persoalan-persoalan tentang Tuhan/agama


Daftar Bacaan:
Muhammad Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintar Pustaka Publisher, 2006
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Sunarto, Pemikran tentang Kefilsafatan Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset, 1983
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 200
H Nasution, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1982



Previous
Next Post »

Tulisan ini adalah sebagai bahan tutorial Mahasiswa Universitas Terbuka. Terbuka bagi pembaca khususnya mahasiswa untuk memberikan kritik dan saran terutama tentang teknik penulisan.

EmoticonEmoticon