Tipologi Pemerintahan Lokal

Courtesey: Ida Royani
Pemerintahan lokal di berbagai negara memiliki berbagai jenis tipologi, tergantung kepada struktur pemerintahan dan pembagian wilayah dari masing-masing negara. Namun, secara umum terdapat dua tipe pemerintahan daerah.

Tujuan Umum Tutorial

  1. Mahasiswa dapat menjelaskan tipe-tipe pemerintahan lokal.
  2. Mahasiswa dapat menjelaskan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.
Secara umum pemerintahan daerah yang diselenggarakan menurut asas dekonsentrasi dan desentralisasi terdapat dua jenis (tipologi), yaitu:

A. Sistem Fungsional (Functional System)

Menurut sistem fungsional, dalam rangka dekonsentrasi setiap Kementerian atau Departemen menempatkan kepala-kepala instansi vertikal di wilayah administrasi untuk memberikan pelayanan umum di bidangnya (sektoral) secara fungsional. Menteri/pejabat pusat menetapkan suatu wilayah kerja pejabatnya di daerah dengan penentuan batas-batas yang didasarkan atas kriteria sesuai dengan keperluan department yang bersangkutan, seperti pembagian beban tugas, jenjang pengawasan, dan efisiensi administrasi untuk pemberian pelayanan umum. Dengan demikian, maka setiap kepala instalasi vertikal mempunyai wilayah kerja (jurisdiksi) dengan batas masing-masing.

Dalam sistem fungsional keberadaan daerah otonom yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi batas-batasnya juga tidak harus sama dengan wilayah kerja kepala-kepala instansi vertikal. Daerah otonom mempunyai batas-batas sendiri. Batas-batas daerah otonom tidak perlu mengikuti salah satu batas-batas wilayah kerja kepala-kepala instansi vertikal. Dengan demikian, batas daerah otonom tidak harus sama dengan batas wilayah kerja kepala instansi vertikal di daerahnya.

Karena setiap departmen mempunyai wilayah kerja (jurisdiksi) dengan batas masing-masing di wilayah Negara, maka bisa terjadi perbedaan batas wilayah kerja (jurisdiksi) antara satu Kementerian atau Departemen dengan departemen lainnya. Misalnya, Kanwil Direktorat Jenderal Anggaran wilayah kerjanya bisa tidak sama dengan Kanwil Kementerian Agama.

Dalam sistem fungsional, pada wilayah negara tidak terdapat wilayah administrasi yang dipimpin oleh seorang kepala wilayah administrasi seperti gubernur, bupati/walikota, camat, dan lurah. Yang ada hanyalah wilayah kerja (jurisdiksi) kepala-kepala instansi vertikal yang dipimpin oleh masing-masing kepalanya. Oleh karena itu, sistem ini seringkali menimbulkan masalah koordinasi horizontal. Untuk mengatasi masalah ini maka koordinasi di tingkat daerah dilakukan apabila dipandang perlu melalui pembentukan panitia antar departemen yang bersifat sementara (ad hoc).

Tipe ini memperlihatkan keterpisahan antara departemen dalam melaksanakan fungsi pelayanan pada wilayah kerja pejabatnya di daerah. Oleh karena itu, tipe ini dikenal dengan fragmented field administration, wilayah administrasi yang terfragmentasi. Dalam fragmented field administration wilayah jurisdiki pemerintahan daerah tidak terlalu berimpit atau mengikuti wilayah jurisdiki instansi vertikal. Karena itu, dalam model ini dimungkinkan membentuk local special purpose respresentative government seperti school district dan sanitary district. Model ini umumnya diatur negara-negara yang dipengaruhi oleh sistem fungsional, karena lebih mengutamakan fungsi pelayanan yag bersifat sektoral.
Contoh negara dengan sistem fungsional adalah negara-negara Anglosaxon (Britania Raya, Amerika, Australia).

B. Sistem Prefektur (Prefectoral System)

Jika dalam sistem fungsional wilayah nasional dibagi ke dalam fungsi-fungsi pelayanan departemen (urusan sektoral) secara terfragmentasi, maka dalam sistem prefektur, teoriti nasional dibagi ke dalam wilayah administrasi dan atau daerah otonom dengan batas juridikasi yang sama dengan sebutan yang sama pula. Misalnya, Provinsi Daerah Tingkat I, Kabupaten/Kota, Daerah Tingkat II, dan Kecamatan/Kota administratif. Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Kecamatan/Kota administratif merujuk pada pengertian wilayah administrasi (local state government) sedangkan Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II menunjuk pada pengertian daerah otonom (local self government).

Dalam sistem prefektur, pada wilayah administrasi yang dibentuk berdasarkan asas dekonsentrasi, ditempatkan seorang wakil pemerintah pusat yang bertaggung jawab kepada Pemerintah Pusat di bawah pembinaan Menteri Dalam Negeri. Misalnya gubernur, bupati/walikota, camat/walikota administratif. 

Wakil pemerintah pusat tersebut menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat dalam urusan menyelenggarakan pemerintahan umum, menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum, mengawasi semua kegitan yang dilakukan oleh instansi vertikal dari setiap departemen dengan batas wilayah kerja (jurisdiksinya) sama dengan wilayah administrasi. Dengan demikian, batas wilayah kerja (jurisdiksi) kepala instansi vertikal berimpit dengan batas wilayah administrasi.

Sementara itu, dalam teoriti yang sama juga dibentuk daerah otonom berdasarkan asas desentraliasi. Daerah otonom tersebut diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang penyelenggaraanya dilakukan oleh Kepala Daerah dan DPRD. Pemerintah Daerah menjalankan fungsi pelayanan publik merupakan urusan masyarakat setempat (bersifat lokalitas) dan bertanggung jawab pada masyarakat setempat pula.

Jika sistem prefektur dijalankan berdasarkan asas dekonsetrasi dan asas desentralisasi secara terpisah, maka ia disebut sistem prefektur tak terintegrasi (unintegrated prefectoral system).  
Pada sistem ini dalam teritori nasional terdapt satu prefektur yang di dalamnya terdapat lembaga yang diatur berdasarkan asas dekonsetrasi saja. 

Asas dekonsentrasi melahirkan wilayah administrasi sedangkan desentralisasi melahirkan daerah otonom. Menurut sistem ini, dalam satu prefektur terdapat: 1) wilayah administrasi yang dipimpin oleh pejabat sebagai wakil pemerintah pusat, 2) wilayah kerja instansi vertikal yang dipimpin oleh kepala instansi vertikal, 3) daerah otonom yang dipimpin oleh kepala daerah otonom. Masing-masing pejabat menjalankan fungsinya sendiri-sendiri dan terpisah. Oleh karena itu, sistem ini disebut juga dualisme personal: fungsi-fungsi diberikan kepada figur yang berbeda. Dengan sistem ini dimungkinkan terbentuknya local special purpose government baik dengan perwakilan maupun tanpa perwakilan. Misal pada zaman Belanda di daerah setingkat kabupaten terdapat kepala daerah otonomi, yaitu bupati, kepala wilayah administrasi, yaitu Controluer, dan kepala-kepala instansi vertikal. Baik bupati, Controluer, maupaun kepala-kepala instansi vertikal menjalankan fungsinya secara sendiri-sendiri dan terpisah. Saat ini sistem ini dianut oleh Italia.

Sebaliknya jika sistem prefektur tersebut dijalankan secara terintegrasi antara asas desentralisasi (daerah otonom/local self government) dan dekonsentrasi (wilayah administrasi/local state government) maka ia disebut sistem prefektur terintegrasi (integrated prefectoral system). Sistem ini dianut oleh Perancis. 

Disebut terintegrasi karena pertama, dilihat dari elemen wilayah, batas pelayanan antara wilayah administrasi (local state government), wilayah kerja kepala- kepala instansi vertikal, dan batas geografis daerah otonom (local self government/local general purpose respresentative government) adalah berimpit, kedua dilihat dari elemen jabatan, pejabat yang mengepalai wilayah administrasi dan daerah otonom adalah sama yaitu melekat pada satu orang. Karena itu, dalam sistem prefektur terintegrasi, kepala wilayah administrasi dan kepala daerah otonom dijabat oleh satu orang denagn peran ganda (dualisme fungsional). Maksudnya pejabat tersebut merangkap dua status, yaitu sebagai wakil pemerintah pusat dan kedua sebagai kepala daerah otonom.

Sistem pemerintahan di negara kita berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 jo No. 32 Tahun 2004 menganut sistem prefektur terintegrasi pada tingkat provinsi. Pada tingkat provinsi, gubernur adalah kepala daerah otonom provinsi, sekaligus sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah administrasi yang dipimpinnya (Rahmat Salam, 2002). 

Sedangkan sistem pemerintahan daerah zaman Orde Baru berdasarkan UU No.5/1974 menganut sistem prefektur terintegrasi sampai pada tingkat kabupaten/kotamadya, kecuali kabupaten dan kota yang berasaskan dekosentrasi. Berdasarkan UU No.5/1974, wilayah administrasi berimpit dengan wilayah otonom tingkat I dan wilayah administrasi kabupaten/kotamadya berimpit dengan wilayah otonom tingkat II, makanya pada zaman itu ada sebutan ganda misalnya: Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan, atau Kotamadya Daerah Tingkat II Pangkalpinang. Sedangkan pemimpinnya disebut pula Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan atau Walikotamadya Daerah Tingkat II Pangkalpinang.

Previous
Next Post »

Tulisan ini adalah sebagai bahan tutorial Mahasiswa Universitas Terbuka. Terbuka bagi pembaca khususnya mahasiswa untuk memberikan kritik dan saran terutama tentang teknik penulisan.

EmoticonEmoticon